Butuhkerja.com– Bagi Bagus Adhitya (27), bekerja di Jepang bisa dikata adalah keinginan yang muncul tiba-tiba.
Berawal dari cerita teman yang sudah berangkat terlebih dahulu pergi ke Negeri Sakura dan mendapat gaji layak, pria yang biasa dipanggil Bagus itu memantapkan niatnya dengan tabungan yang ia punya.
“Dulu aku itu berangkat ke Jepang nggak direncana sih. Itu kan masih kerja di pabrik juga, terus ada teman dari SMK yang udah berangkat. Aku jadi termotivasi. Katanya kerjaannya sesuai desk, terus bisa sambil sekolah juga,” ujar Bagus kepada Butuhkerja.com, Kamis (16/7/2025).
Kecintaannya pada anime dan keinginan memahami budaya Jepang secara langsung memperkuat tekad Bagus. Ia pun mulai belajar bahasa Jepang sambil bekerja.
“Pagi kerja, sore sekolah, malam mengerjakan tugas dari kelas bahasa. Padat banget saat itu,” ucapnya.
Sayangnya, langkah awalnya sempat terganjal ketika Bagus ditipu oleh agen ilegal yang mengaku bisa memberangkatkan pekerja migran Indonesia (PMI) ke Jepang.
“Aku sempat ditipu Rp 5 juta. Itu sih belum seberapa dibanding teman yang sampai Rp 50 juta. Padahal niatnya mau cari kerja halal, malah apes,” kenangnya.
Pengalaman pahit itu tidak menggugurkan niat Bagus. Ia lantas mendaftar Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) bersertifikasi.
Lewat jalur magang atau kenshusei, Bagus akhirnya bisa berangkat dan mendapat pekerjaan di pabrik perakitan mobil Isuzu di daerah Fujisawa.
Pengalaman bekerja di Jepang memberinya sudut pandang baru. Menurut Bagus, sistem kerja di sana tidak hanya disiplin dan efisien, tetapi juga lebih manusiawi.
Meski durasi kerja delapan jam per hari, waktu tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk bekerja. Terdapat jam istirahat yang jelas dan dijamin untuk semua karyawan.
“Kalau di Jepang, delapan jam kerja itu enggak full kerja. Ada istirahat satu jam, terus dua kali coffee break selama 15 menit, buat ngopi atau sekadar duduk santai. Pekerjaan juga sesuai porsi, dan kalau lembur, pasti digaji,” ujar Bagus.
Hal paling ia kagumi adalah standar keselamatan kerja yang sangat tinggi. Satu kejadian kecil bisa langsung dibahas bersama seluruh tim dalam rapat evaluasi.
“Pernah ada insiden, operator teledor jadi ada alat mesin yang menimpa kepala. Itu langsung produksi di bagian itu berhenti sementara, dibahas di rapat. Pokoknya di sana itu keselamatan kerja nomor satu. Gaji sudah langsung dipotong buat asuransi kesehatan juga,” tegasnya.
Bagus menjelaskan bahwa gaji di Jepang dihitung per jam, lalu dikalikan jumlah jam kerja. Selain itu, tiap pekerja sudah otomatis mendapat asuransi kerja dan tabungan wajib yang bisa dicairkan saat pulang ke Indonesia.
“Dari gaji langsung dipotong buat asuransi kesehatan, pekerjaan, sama tabungan yang bisa dicairkan pas kita balik ke Indonesia. Jadi enggak cuma kerja, tapi sambil nabung juga,” jelas Bagus.
Fasilitas tempat tinggal pun layak. Ia mendapat apartemen studio pribadi lengkap dengan kamar mandi dan dapur. Namun, Bagus bilang tidak semua pekerja mendapat fasilitas yang sama. Beberapa pemagang dari Indonesia ada yang tinggal di berbagi kamar.
Perlindungan negara dan bantuan Pemerintah Jepang
Satu hal yang menurut Bagus sangat berbeda dibanding Indonesia adalah bagaimana pemerintah Jepang memperlakukan semua warga, termasuk pekerja migran dan pemagang secara setara.
“Waktu harga beras naik, kita dikasih bantuan langsung, itu hampir Rp 7 juta per orang. Enggak pandang kamu orang Jepang, Vietnam atau Indonesia. Semua dapat,” ungkapnya.
Ia membandingkan perlakuan ini dengan realitas di tanah air yang menurutnya kadang justru menyulitkan warganya sendiri.
“Kita di Jepang dipikirin. Di sini, WNI saja enggak dipikirin. Cari kerja susah, pas sudah bekerja naik gaji juga sulit,” ungkap Bagus.
Kini Bagus sedang pulang ke Indonesia menunggu kelahiran anak pertamanya. Namun, ia masih berencana kembali ke Jepang.
Menurut Bagus, Jepang adalah tempat yang realistis untuk membangun masa depan, apalagi setelah ia cukup fasih berbahasa Jepang dan memahami budayanya.
“Saya sih pilih Jepang lagi. Daripada mulai dari nol di negara lain, lebih baik balik ke tempat yang sudah saya pahami. Di sana juga lapangan kerja masih luas, dan umur 45 tahun masih bisa kerja. Di sini umur 30-an aja kadang sudah susah,” katanya.
Bagus berpesan pada siapa pun yang ingin bekerja ke luar negeri agar jangan asal berangkat. Harus lewat jalur resmi, belajar bahasa dan budaya negara tujuan, serta menyiapkan mental dan niat yang benar.
“Jangan cuma pengin kabur dari Indonesia. Harus tahu tujuannya apa. Di Jepang itu kita kerja sambil belajar. Modalnya buat balik dan usaha di sini,” ujarnya.
Gaji besar, pengalaman internasional, dan kualitas hidup yang lebih baik, tiga hal ini kerap menjadi daya tarik utama bagi anak muda Indonesia untuk bekerja ke luar negeri, terutama ke Jepang.
Melansir Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Jepang menjadi salah satu negara tujuan favorit pekerja migran Indonesia, dengan dua jalur resmi yang diakui pemerintah, yaitu skema pemagangan teknis di bidang industri atau Technical Intern Training Program (TITP) dan pekerja trampil atau Specified Skilled Worker (SSW).
Menurut LPK GunaMandiri, lembaga pelatihan dan pengirim peserta magang yang telah mengantongi izin sebagai Sending Organization (SO) dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker RI), tren keberangkatan ke Jepang dalam skema magang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Lapangan pekerjaan di Indonesia mungkin masih terbatas. Sementara, Jepang butuh banyak tenaga kerja. Jadi trennya memang mengalami peningkatan,” ujar Asdi, General Administration Manager LPK GunaMandiri saat dikonfirmasi, Rabu (18/7/2025).
Asdi menambahkan bahwa setiap bulannya, ada 300–400 peserta yang menjalani pelatihan di lembaganya.
Mereka harus melalui seleksi internal dan pelatihan bahasa serta budaya Jepang sebelum diikutsertakan dalam wawancara dengan perusahaan penerima. Hingga kini, lebih dari 2.000 orang telah diberangkatkan melalui skema TITP.
“Orang-orang (siswa) yang mendaftar ke kami sebelumnya harus melewati seleksi (assessment) di internal kami lalu kandidat yang sudah lulus seleksi inilah yang kami daftarkan untuk mengikuti interview dengan Perusahan Penerima di Jepang,” jelas Asdi.
“Faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah peserta (siswa) adalah ketersediaan lapangan kerja di tanah air dan besarnya permintaan dari Jepang. Kami tidak bisa menjelaskan apakah tren #KaburAjaDulu ikut berperan atau tidak. Namun, selama 5 tahun terakhir kami sudah memberangkatkan lebih dari 2.000 orang untuk skema magang,” imbuhnya.
Dikutip dari laman Binalattas.kemnaker.go.id, hanya lembaga yang telah ditunjuk sebagai SO resmi yang boleh menyalurkan peserta untuk program TITP.
Jalur ini diawasi ketat oleh pemerintah Indonesia dan Jepang, termasuk lewat pemantauan dari Organization for Technical Intern Training (OTIT) di Jepang yang berwenang mengintervensi jika terjadi pelanggaran.
Upaya pemerintah dukung pekerja
Keputusan generasi muda untuk mencari peluang kerja di luar negeri merupakan pilihan hidup yang patut dihargai. Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten (Disperinaker) Klaten Luciana Rina Damayanti, saat ditemui pada pembukaan Klaten Job Fair 2025, Rabu (24/7/2025).
Menurut Luciana, pemerintah daerah hadir bukan untuk melarang atau membatasi, melainkan memfasilitasi warganya agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, baik di dalam maupun luar negeri.
“Membangun negara ini dimulai dari kita. Tapi perannya itu kan macam-macam. Jadi bagaimana adanya keseimbangan antara mereka yang bekerja di luar negeri dan mereka yang bekerja di dalam,” kata Luciana.
Luciana menegaskan bahwa keseimbangan menjadi kunci dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Pemerintah Kabupaten Klaten, kata dia, sedang berupaya menghadirkan kesempatan kerja seluas-luasnya, termasuk lewat job fair yang digelar secara rutin.
“Bagi yang di luar negeri, kita sebagai pemerintah berusaha untuk mengawal dan melindungi hak-haknya. Sementara yang di dalam, bagaimana kita bisa menjembatani para pencari kerja dalam menemukan penghidupan seperti Job Fair ini,” jelasnya.
Luciana menambahkan, pihaknya tidak memaksa warga untuk tetap bekerja di dalam negeri, namun juga tidak mendorong secara berlebihan untuk pergi ke luar negeri. Pemerintah hadir sebagai fasilitator agar setiap warga bisa turut berkontribusi dalam pembangunan bangsa, dari manapun mereka bekerja.
“Bekerja di luar negeri bukan berarti menanggalkan nasionalisme tapi bekerja di dalam itu juga bagaimana kita berdayakan. Itulah fungsi pemerintah dalam rangka memfasilitasi membangun negara ini,” pungkas Luciana.
Magang ke luar negeri kerap menjadi jalan tengah bagi anak muda Indonesia yang ingin menambah pengalaman kerja sambil membuka peluang hidup yang lebih baik.
Namun di balik janji manis itu, ada celah besar dalam sistem: lemahnya regulasi membuat peserta magang rentan dieksploitasi, bahkan terseret dalam pusaran perdagangan orang.
Anis Hidayah, aktivis hak asasi manusia dan founder Migrant Care, menyoroti belum adanya payung hukum yang komprehensif terkait program magang lintas negara.
“Regulasi tentang magang itu sejauh sepengetahuan saya memang belum komprehensif ya, diatur dalam satu undang-undang. Baik dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran juga tidak diatur,” ujar Anis saat dihubungi, Senin (4/8/2025).
Ia menekankan bahwa kekosongan hukum ini menjadi celah berbahaya. Posisi peserta magang menjadi tidak jelas secara hukum, bukan sepenuhnya pekerja, tapi juga bukan sepenuhnya pelajar. Situasi abu-abu ini membuka ruang bagi eksploitasi.
“Nah, ini yang sebenarnya kemudian menjadi satu pertanyaan besar,” lanjutnya.
Anis memberi contoh sejumlah program pemagangan yang secara praktik lebih menyerupai kerja formal. Mulai dari skema magang ke Jepang yang banyak difasilitasi Lembaga Pelatihan Kerja (LPK), hingga kasus terbaru mahasiswa Indonesia yang magang ke Jerman namun berakhir menjadi tenaga kerja informal.
“Kemarin kasus-kasus banyak mahasiswa melakukan magang ke Jerman, yang ternyata itu adalah foreign job. Itu jadi salah satu modus TPPO (tindak pidana perdagangan orang) atau perdagangan orang yang juga dikemas sebagai program magang,” kata Anis.
“Program LPK ke Jepang juga magang. Jadi ini yang menjadi celah, bagaimana kemudian posisi itu bisa jadi ruang yang merugikan mereka yang ikut program magang. Mereka nggak dapat perlindungan secara optimal. Bahkan dalam beberapa situasi tertentu mereka mengalami eksploitasi karena pengaturannya belum jelas,” tambahnya.
Menurut Anis, sudah saatnya pemerintah menyusun kerangka regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur program pemagangan internasional. Tak hanya soal tata cara, tetapi juga pengawasan dan perlindungan hukumnya.
“Bagaimana sesungguhnya harus diatur dengan jelas, sehingga ini tidak disalahgunakan. Apakah magang yang merupakan program kampus? Apakah magang yang sifatnya G2G (pemerintah ke pemerintah) misalnya dengan Jepang, yang direkrut lewat LPK, itu semua harus diklasifikasikan secara tegas dan diawasi ketat,” tegasnya.
Jika celah ini tidak ditutup segera, ia khawatir akan semakin banyak korban yang terseret dalam jaringan sindikat kejahatan transnasional yang menyamar lewat jalur pendidikan, magang, dan kerja informal.
“Untuk menutup celah adanya sindikat trans organized crime, ya harus diatur sedemikian rupa. Harus ada mekanisme pengawasan yang kuat,” ungkap Anis. (Selesai)
Liputan ini didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta